refleksi "ketika gereja harus bicara"
Ketika Gereja harus “bicara” ;
suatu catatan refleksi tentang panggilan gereja di dunia politik.
Hari ini, hari minggu di tengah lantunan peribadatan gereja…
Kuurai tulisan ini…
Karena tinggalku di samping gereja sehingga dengan jernih ku dengar, sang pendeta melayani jemaatnya; kebetulan aku telah beribadah subuh tadi
Sehingga aku memiliki kesempatan menuangkan kata-kata yang menari-hari di kepalaku
…… so excited, seperti gelora yang berdentam, yang menyemangati dan menginspirasiku
kini dorongan itu sulit ku bendung aku ingin bicara, aku ingin merangkai kata ….. untuk sebuah konfirmasi dan suatu klarifikasi
Ditengah guncang gancing… gesekan demi gesekan yang menambah hangatnya suhu politik di pilkada serentak, 9 desember 2015
Apa yang selama ini kupedam rasanya tak mampu lagi kutahan
Aku ingin berkata kepada si Koleris, yang suka bekerja, tampil berapi-api dan selalu berada di garda terdepan
Juga Kepada si Sanguinis, sang superstar.. yang suka bicara dan bersenang-senang
Juga kepada si Plegmatis, sosok pencinta damai, yang tidak suka perubahan, yang menjadi pengamat yang manis yang ingin menghindar dari persoalam
Dan juga si Melankolis, si pemikir yang detail yang suka instruksi yang jelas
………………………………………..
Bahwa ……suka atau tidak, mau atau tidak kita berada pada satu konteks reformasi yang membutuhkan transformasi, kita berada pada suatu realita…. yang menuntut kita bekerja keras dan tidak berdiam diri… yang mengharuskan kita untuk berada di medan perjuangan yang menyejahterakan masyarakat; suatu panggilan gereja di bidang politik (politik; polis = kota, teia = urusan, urusan kota; urusan kehidupan Negara) yang menyejahterakan masyarakat dan bukan hanya soal bagi-bagi kekuasaan atau mempertahankan kekuasaan.
Saat ini, gesekan dan benturan mulai dipersoalkan dalam realitas iman di tengah realitas praksis; ketika orang mempersoalkan doa dan doi (=uang), harga sebuah suara, harga suatu identitas diri, dan hal ini menuntut suatu jawaban iman….. dalam tatanan nilai hidup berbangsa dan bernegara
Supaya kita dapat memilih “the right man and the right place”, orang yang tepat, memiliki kecakapan, kemampuan, pengalaman dan intergritas. Sosok pemimpin yang terbaik akan sangat menetukan kemajuan dan kesejahteraan masyarakat. Merekalah orang yang dapat dipercaya untuk menentukan arah masa depan bangsa, di dalamnya kemajuan Sulawesi Utara dan kota Bitung menuju kota yang aman, damai dan sejahtera yang dapat dihuni seluruh elemen masyarakat yang menghargai NKRI dan Pancasila sebagai Dasar Negara. Di sinilah akan bernaung warga masyarakat yang mencintai kotanya dan menghargai pemimpinya dan menghormati sesamanya. Kepada merekalah kita menyalurkan aspirasi politik kita, bahwa siapa yang akan memimpin ke depan….; membawa kita meraih harapan dan mimpi …..,
Dalam gumul imaniah yang melampaui ratio berkaitan dengan masih adakah tanah milik pusaka yang harus dipertahankan atau menyerahkan “strategi” dan upaya pembaharuan tanpa berbuat apa apa-apa, dengan hanya menjadi penonton atau tamu di rumah sendiri; di tengah-tengah derasnya kemajuan dan perkembangan ekonomi menghadapi MEA, KEK, HUB PORT, JALAN TOL, KERETE API atau mega proyek yang menjadi ukuran keberhasilan dan pengembangan potensi perikanan, kelautan, wisata, jasa, usaha dan bisnis yang hanya menguntungkan segelintir orang.….. untuk kemudian membawa kita termarjinal di sudut-sudut kota, di pegunungan dan di pesisir pantai dan akhirnya dengan berlinangan air mata / mata basah sambil menggigit jari….., dan bertanya kepada diri kita; mengapa aku tak berada dalam arak-arakkan kemajuan sebagai orang-orang yang menentukan masa depan baru kota ini ??? (Bandingkan Yeremia 29:7).
Ketika peluang menjadi ancaman, ketika kekuatan menjadi kelemahan…. ….. aku sepertinya melihat masa depan kelam bangsaku, sesuram perekonomian, sekering cuaca ekstrim….., seperti kabut asap yang mengepul dan mengelilingi dunia kita, kotor penuh polusi, penuh limbah perusahaan yang membuat air jernih makin keruh, dan penduduk kota berpindah mencari ruang dan peluang yang semakin penat…. oleh hitungan rupiah sementara kondisi moral yang makin merosot. Tenda-tenda biru makin bertambah, lorong popaya makin menjamur, tanpa malu mempertontonkan diri di antara jalan surga dan neraka yang membawa potensi penyakit menular seksual dan HIV AIDS, yang akhirnya membawa kelumpuhan hidup dan ketidakberdayaan karena ketidak mampuan bersaing dan bertahan hidup. Sehingga kita semakin terlena dengan mengkonsumsi pil-pil laknat, narkoba, lem ehabon, miras yang dengan sengaja menghancurkan kekuatan dan melumpuhkan saraf menuju harapan yang telah kandas karena penyakit, dan semakin pekatnya kehidupan oleh tindakan kriminalitas karena diberi ruang dan kesempatan oleh kemiskinan, ketidakadilan, pengangguran dan tidak maksimalnya pendidikan. Ada pula yang mencoba mempertaruhkan hidup dalam ruang judi yang semakin “dilegalkan” atau sengaja dibiarkan supaya masyarakat dininabobokan pada spekulasi kehidupan, dan karena hukum seperti pisau yang tajam di bawah dan tumpul di atas
Bagaikan nabi Yesaya dengan keberaniannya untuk mengkritik ketidakadilan sosial, penyembahan berhala dan ketidak setiaan umat, sehingga hidupnya harus berakhir di tangan sang penguasa lalim, Manasye. Kita terpanggil menjadikan ancaman sebagai peluang dan kelemahan sebagai kekuatan….. , dengan berani berkata tentang kebenaran. Sekaligus juga berani memperjuangkan iman, apapun resikonya tanpa takut dan gentar. Ajakan nabi Yesaya untuk melakukan tindakan yang tepat, “bangkitlah, menjadi teranglah sebab terangmu datang dan kemuliaan Tuhan terbit atasmu (Yesaya 60:1). Bangkit adalah suatu tindakan aktif responsive untuk berani tampil berkarya di tengah kegelapan hidup dan realitas ekonomi, sosial dan politik yang kian terpuruk.
Hal yang dilematis ini juga disikapi dengan cermat oleh Ester, sang ratu atas desakan pamannya Mordekhai menghadapi muslihat Haman untuk memunahkan orang Yahudi….”Jangan kira, karena engkau di dalam istana raja, hanya engkau yang akan terluput dari antara semua orang Yahudi. Sebab sekalipun engkau pada saat ini berdiam diri saja, bagi orang Yahudi akan timbul juga pertolongan dan kelepasan dari pihak lain, dan engkau dan kaum keluargamu akan binasa. Siapa tahu, mungkin justru untuk saat yang seperti ini engkau beroleh kedudukan sebagai ratu” (Ester 4:13-14).
Yang perlu direnungkan dalam pernyataan ini adalah tidak boleh berdiam diri. Berdiam diri dalam konotasi; pasif, tidak berbuat apa-apa atau menunggu. Melainkan harus berupaya dan berjuang untuk kepentingan “orang Yahudi” yang bukan secara eksklusif; dari mereka untuk mereka tetapi lebih ke arah perlindungan atas bahaya dan ancaman diskriminatif rasial, yang mayoritas terhadap minoritas, sebab tindakan rasial ini akan menghancurkan sendi-sendi kehidupan. Di sini upaya untuk berjuang agar keadilan, kebenaran dan kesetaraan kehidupan dinikmati untuk semua masyarakat.
Ester tidak memanfaatkan jabatannya sebagai ratu atau mengejar posisi penting dalam kerajaan Persia dan Media tetapi mempertaruhkan “nyawanya” untuk kepentingan yang lebih besar dari dirinya sendiri, pergilah, … kumpulkanlah…., dan , berpuasalah untuk aku…,…dan kemudian aku akan masuk menghadap raja, sungguhpun berlawanan dengan undang-undang; kalau terpaksa aku mati, biarlah aku mati”(Ester 4:16).
Suatu bentuk koordinasi dan konsolidasi yang sinergi dengan doa dan puasa untuk menghadapi konspirasi politik yang menguntungkan segelintir orang dan menghancurkan orang lain.
Karena itu dalam realitas ini, berdiam diri sama artinya tidak mau berbuat apa-apa, dan ada kemungkinan mengindikasikan “kematian spiritualitas” (Bnd Luk 19:40), karena berusaha untuk menjadi serupa dengan dunia ini (Bnd Roma 12:2). Panggilan gereja di dunia ini adalah untuk menghadirkan “dunia baru” dengan mengusahakan pembaharuan mulai dari diri sendiri. Sepertinya tindakan ini terlalu idealis, tapi alkitab memberi landasan untuk itu dan tanpa pilihan yang lain.
Banyak orang yang tidak mau mengambil bagian dalam hal ini dengan memilih untuk bersikap netral dan tinggal di zona nyaman. Tidak mau disalahkan, namun sesungguhnya kita sementara bersalah melihat kemungkinan terburuk yang dapat terjadi dalam masyarakat kita karena apa yang kita sebut politik itu “kotor”.
Yesus, sang Guru Agung mengajarkan kita tentang keberpihakkannya terhadap orang miskin, orang sakit, orang yang menderita, mereka yang tidak dipedulikan dan disingkirkan dalam kehidupan. … Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit: Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, tetapi orang berdosa supaya mereka bertobat (Luk 5:31,32). Sebab Anak Manusia datang untuk mencari dan menyelamatkan yang hilang (Lukas 19:10). Oleh kasihNya, Ia mengorbankan diri melalui kematian di kayu salib demi menyelamatkan manusia. Inilah bentuk solidaritasNya bagi manusia, yang membawa pengampunan dan pendamaian.
Yesus mengajarkan tentang kasih, dan seluruh hidupNya adalah Kasih. Dalam terang inilah gereja menolak segala bentuk tindakan kekerasan apalagi yang mengatasnamakan agama. Gereja melayani dengan kasih untuk keselamatan manusia dan dunia ini.
Calvin dalam bukunya Institutio mengenai pemerintahan sipil, ia perlu membicarakan hal ini karena ia melihat ada orang-orang yang tolol dan biadab yang dalam amukannya mencoba menumbangkan peraturan yang ditetapkan oleh Allah itu (kaum Anabaptis) dan di pihak lain ada perayu-perayu para raja yang tidak ragu-ragu mengagung-agungkan kekuasaan mereka sampai-sampai mempertentangkannya dengan kedaulatan Allah sendiri, yaitu negarawan-negarawan yang menganjurkan system monarkhi mutlak (hal.252). Lebih lanjut Calvin mengatakan kekuasaan politis adalah suatu panggilan, yang tidak hanya suci dan sah di hadapan Allah, tetapi juga yang paling kudus dan yang paling terhormat di antara semua panggilan dalam seluruh lingkungan hidup orang-orang fana (hal. 256)
Mengacu dari pemahaman teologis dan realitas kehidupan sekarang ini, maka tidak ada masalahnya kalau kita mengambil bagian dalam mempersiapkan pemimpin seperti yang dianjurkan Yitro kepada Musa kemudian haruslah engkau mengajarkan kepada mereka ketetapan-ketetapan dan keputusan-keputusan, dan memberitahukan kepada mereka jalan yang harus dijalani dan pekerjaan yang harus dilakukan. Di samping itu kau carilah dari seluruh bangsa itu orang-orang yang cakap dan takut akan Allah, orang-orang yang dapat dipercaya dan yang benci kepada pengejaran suap; tempatkanlah mereka di antara bangsa itu menjadi pemimpin ………. (Kel 18:20,21). Jika engkau berbuat demikian dan Allah memerintahkan hal itu kepadamu……, dan seluruh bangsa ini akan pulang dengan puas senang ke tempatnya (Kel 18:23). Kriteria sosok pemimpin yang alkitabiah adalah orang yang berpengalaman, yang beriman, yang memikili kapabilitas, integritas dan mendedikasikan dirinya untuk menyejahterakan rakyat yang dipimpinya.
Kita tidak boleh alergi dengan dunia politik dan menganggapnya kotor sehingga bukan tempat kita menyampaikan suara kenabian. Jika gereja memilih bersikap netral dan tidak peduli menyampaikan kebenaran dan keadilan maka gereja menempatkan diri pada zona nyaman, tanpa sikap atau abu-abu, seperti ombak yang diterbangkan angin ke kiri dan ke kanan.
Sepanjang sejarah pelayanan para nabi, rasul dan pemimpin gereja mereka tidak pernah bersikap netral atau memilih bersikap pasif pada suatu pembaharuan hidup melainkan bersikap aktif dan berani menyampaikan suara kenabian untuk menentang ketidakadilan, kemiskinan dan penindasan dengan resiko mempertaruhkan nyawa sendiri.
Netralitas adalah keadaan atau sikap untuk berdiam diri, apatis dan pesimis terhadap kemajuan. Tidak pernah ada tokoh-tokoh gereja yang melandasi hidupnya pada kebenaran Allah: Alkitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru berdiam diri di tengah realitas konteks yang membutuhkan transformasi dan reformasi. Untuk itulah suara gereja jangan dibungkamkan oleh suara dunia yang membuat kita tutup mata, mulut dan telinga sehingga berdiam diri dan tak mampu berbuat apa-apa seperti terang yang ditutupi gantang dan garam yang kehilangan asinnya. Yesus mengajarkan kita ; kamu adalah garam dunia dan kamu adalah terang dunia dan bukan garam dan terang gereja. Artinya panggilan untuk bersaksi, melayani dan membangun kesejahteraan hidup adalah tugas gereja di tengah dunia.
Gaung kepeduliaan ini menyemangati Marthin Luther King, Jr, Ph.d sehingga dengan gigih, ia memperjuangkan hak-hak sipil orang-orang yang berkulit hitam di Amerika. Dia adalah seorang pendeta, penerima nobel dan aktivis HAM, salah seorang pemimpin terpenting dalam sejarah AS dan sejarah non kekerasan di zaman modern dalam khotbahnya ia mengatakan “I have a dream”, ia mempunyai impian tidak ada lagi diksriminasi rasial; karena warna kulit dan etnis. Ia ditembak mati karena keberaniannya untuk menyuarakan panggilan imannya. Impian ini pada akhirnya terwujud dengan hadirnya sosok Presiden Amerika; Barak Obama.
Seorang tokoh pendidikan dari Brasil, Paulo Freire yang turut mengalami kemiskinan dan penderitaan, dengan teori pendidikan yang memengaruhi dunia, ia mengungkapkan pendidikan yang membebaskan dan memanusiakan yaitu suatu bentuk pendidikan yang memberdayakan bukan menekan dan menindas yang berujung pada peningkatan kualitas dan kapabilitas untuk kehidupan manusia. Bangkit dari kebudayaan bisu (the culture of silence) dengan kesadaran untuk membangun kehidupan yang lebih baik. Ia dipenjarakan manakala gerakan progresif dibungkam. Di penjara inilah muncul karya pertama Freire tentang pendidikan, Education as the Practice of Freedom. Selain itu, Ia juga membuat buku berjudul Pedagogy of the Oppressed yang juga membahas tentang pendidikan. Ia menolak banking education yang membuat orang tidak mampu berpikir dan bertindak kritis dalam melakukan transformasi sosial.
Semangat seperti ini juga menggema dalam kehidupan Nelson Mandela, seorang revolusioner anti-apartheid dan politisi Afrika Selatan, yang rela menderita di penjara selama 27 tahun untuk memperjuang perdamaian negaranya, Afrika. Ia pun mengatakan Education is the most powerful weapon which you can use to change the world.
Desakan arus kemajuan dan perkembangan zaman ini membutuhkan partisipasi masyarakat. Kekuatan sosial (people Power) merupakan dorongan efektif yang menghasilkan suatu tindakan sosial menuju suatu perubahan. Runtuhnya rezim orde baru juga disebabkan oleh people power. Suara rakyat harus dihargai (vox populi) namun pengertian ini jangan dikaburkan oleh pemahaman sempit bahwa suara rakyat sama dengan suara Tuhan, sebab suara rakyat bisa salah sedangkan suara Tuhan tidak mungkin salah.
Berdemokrasi untuk memilih pemimpin sebaiknya dalam bingkai keadilan, kebenaran dan kedamaian. Warga masyarakat harus memilih tidak hanya berdasarkan suka atau tidak, like or dislike, melainkan berdasarkan hati nurani; logika dan iman. Memilih berdasarkan hati nurani karena tidak ada orang yang dapat mendustai kata hatinya, tidak mencemarinya dengan iming-iming mendapatkan sesuatu, sedangkan memilih berdasarkan logika adalah meneliti rekam jejak dan mempertimbangkan dengan cermat; kecakapan, kapabilitas, kemampuan dan pengalaman. Fokus kita bukan pada partai tapi pada figure/orang. Dan memilih berdasarkan iman yaitu penilaian spiritualitas, karakter dan integritas; tidak asal memilih karena bujuk rayu melainkan karena dorongan iman untuk memilih pemimpin yang takut akan Tuhan. Orang yang mengutamakan Tuhan pasti akan menjadi pemimpin yang melayani rakyatnya
Pemerintahan gereja dan pemerintahan dunia adalah dua hal yang berbeda tetapi tidak boleh dipertentangkan. Hak-hak politis warga masyarakat harus ditempatkan ditempatnya yang layak. Jika gereja mempersiapkan pemimpin dalam bidang pemerintahan; eksekutif, yudikatif dan legislative tidak berarti bahwa gereja masuk serta merta tanpa analisis dan kajian berdasarkan konteks sosial dan tuntutan kebutuhan masyarakat; dalam ranah politik praktis. Melainkan gereja mempersiapkan kader terbaiknya untuk menjadi pemimpin yang takut akan Tuhan dan melayani masyarakat dengan baik, gereja juga memberikan pencerahan dan mengedukasi warga jemaatnya untuk tidak salah dalam menggunakan hal politiknya, memilih pemimpin tidak didasarkan pada kepentingan sesaat melainkan didasarkan pada pertimbangan logika, hati nurani tetapi juga harus iman. Tuhan menuntut pertanggungjawaban iman kita untuk memilih pemimpin; dalam hidup berdemokrasi dilakukan dalam bingkai demokrasi yang Theokrasi.
Kesejahteraan kota ditentukan oleh partisipasi warga masyarakatnya. Kita memang tidak berada dalam konteks pembuangan di zaman nabi Yeremia, tapi konteks kekiniaan yang mengharapkan pemilukada berlangsung aman, damai, jujur, adil dan tidak tercemari oleh money politic, politik transaksional, politik janji dan politik kepentingan. Karena itu moment pemilukada ini yang bertepatan dengan perayaan minggu adven ini mengingatkan kita jangan memilih pemimpin ala Raja Herodes, yang kejam dan menghalalkan segala cara atau melegalkan politik nepotisme yang mengakibatkan mengguritanya kaki tangan politik di sector-sektor kepentingan public yang ujung-ujungnya membuat rakyat menderita
Dalam suasana penyesalan dan pertobatan dengan ditandai dengan memasang dua lilin yang berwarna ungu kita diingatkan untuk menimbun lubang-lubang hati dan hidup kita, meratakan gunung ambisi, kepentingan dan kesombongan kita serta meluruskan jalan “putar bale”, jalan berliku-liku, jalan menghalalkan segala cara demi kemenangan dan keuntungan pribadi.
Kita terpanggil memilih pemimpin yang memiliki tekad mewujudkan hidup bersama sebagai keluarga Allah, tanpa memandang suku, bangsa, ras dan agama. Kita menopang dan mendoakan hadirnya sosok pemimpin baru yang menghadirkan hidup damai dan sejahtera, manusia dengan Allah (menghargai harkat hidup untuk beragama), manusia dengan sesamanya tanpa diskriminatif dan manusia dengan alamnya dalam hidup yang harmoni.
Semoga damailah kotaku dan sejahteralah bangsanya. Tuhan memberkati
Treesje Josefine Tombokan
Komentar
Posting Komentar