MENABUR CINTA MENUAI AIR KEHIDUPAN Matahari bersinar dengan indah saat ku melangkahkan kaki di depan gedung Sekolah Dasar yang merupakan satu-satunya sekolah di desa itu. Aku memandang anak-anak yang mulai bergegas masuk. Berlari-lari dengan penuh keceriaan, penuh tekad dan semangat. Hari ini adalah awal tahun ajaran baru 2015/2016. Aku berhenti di depan kelasku, kelas 1. Hampir setahun aku mengajar, meninggalkan kota kelahiranku mengabdi di desa pesisir pantai ini, yang jaraknya hampir 20 km dari pusat kota Bitung, tepatnya di ujung paling timur. Tak banyak yang berubah, bilik-bilik ruangannya terlihat masih kusam, halamannya dipenuhi rerumputan hijau dihiasi lulik warna-warni dan sebuah pohon rindang, pohon tua yang kuperkirakan hampir seumurku. Di sinilah biasanya anak-anak bermain pada jam-jam istirahat. “Selamat pagi ibu guru” , aku tersentak kaget dari lamunanku Rupanya murid-murid baru mulai bergegas memasuki ruangan kelas. Kulirik arloji hampir pukul 07.00 Wita, sebentar lagi lonceng akan dibunyikan. “Selamat pagi anak-anak”, ibu sangat senang, hari ini kita akan mulai belajar bersama, ibu akan memulainya dengan berdoa.Untuk pelajaran kali ini, kita akan belajar di luar ruangan kelas, “hore-hore”… seru muridku dengan antusias. Aku menuntun mereka untuk mengenal lokasi sekolah dan ruangan-ruangannya. Kelasku tahun ini tidak sampai 20 orang, hanya 16 anak saja. Ku pikir anjuran pemerintah untuk memiliki 2 anak cukup, telah memasyarakat di desa ini. Hanya satu atau dua orang saja yang memiliki lebih dari dua orang anak, salah satunya Titin muridku. Ia terlahir sebagai anak yang ketiga dari lima bersaudara. ”Anak-anakku, pelajaran hari ini telah selesai esok kita akan jumpai lagi”. Aku menyalami para muridku mereka berjalan keluar, berbaris teratur dengan wajah penuh keceriaan. Betapa senangnya anak-anak itu, hidup ini seperti tidak memberikan beban bagi mereka, sengatan matahari siang itu tak memudarkan kicauan keriangan. Seusai sekolah aku berjalan menuju tempat tinggalku, jalannya berpasir dan terkadang masuk di sepatuku yang lusuh tanpa kuundang. Sebagai guru yang baru diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), aku tak punya banyak uang untuk membeli berbagai macam barang sekalipun memang sangat kubutuhkan. Aku memang terlahir dari keluarga yang sederhana, meraih gelar sarjana pendidikan pun kudapat dengan supaya payah. Harus berhemat matian-matian. Namun aku tak ingin terus melihat ke bawah bukankah masih banyak orang yang lebih sulit dariku. Termasuk penduduk desa ini yang tak dapat bertani oleh karena lahan pertanian dengan tekstur tanah berpasir, dan harus menggantungkan hidup mereka dari hasil melaut dimana angin dan gelombang, menjadi teman akrab sang nelayan. Apalagi di bulan Juli ini, di tengah cuaca ekstrim disertai angin kencang dan gelombang yang tinggi membuat mereka tidak dapat melaut, hal ini sangat memperberat perekonomian mereka. Setahun yang lalu, terjadi musibah di mana hampir 10 orang nelayan yang tidak lagi ditemukan karena kapalnya tenggelam. Sambil membersihkan pasir di sepatuku, nada keluh terucap dari bibir ini. Ah…. hidup di pesisir pantai sangat sulit, beras harus dibeli dan air pun dihargai Rp. 60.000,- dengan kapasitas 1100 liter. Setiap minggu harus membeli 1 tong air. Bilamana hujan turun air ditampung untuk digunakan mandi dan cuci. Jika mereka tidak punya cukup uang untuk membeli air bersih, mereka terpaksa mengkonsumsi air payau, dalam bayanganku terlintas berbagai jenis penyakit yang disebabkan oleh mengkonsumsi air yang tak layak minum, betapa menyakitkan dan menyengsarakan. Kapan tanyaku membatin ??? Kehidupan masyarakat pesisir yang didentikkan hidup dengan serba kekurangan akan makin sejahtera sejalan dengan cita-cita pendiri negara ini dan impian besar pembangunan nasional. Syukur tahun kemarin listrik telah masuk di desa ini, andai juga air bersih atau paling tidak ada teknologi yang mengubah air asin menjadi air tawar…. Tapi sampai kapan, masyarakat di desa ini dapat terpenuhi kebutuhan vitalnya. Memikirkan hal ini membuat kepalaku semakin semrawut, batin ini pun makin tersiksa. Adakah cara yang terbaik yang dapat kulakukan sebagai seorang sarjana pendidikan yang berhasil menamatkan studi dengan peringkat “Cum Laude”. Malu memang, rasanya aku belum berbuat apa-apa masyarakat, masih terbatas untuk mengedukasi murid-muridku saja. Seharusnya aku dapat berbuat lebih, untuk kesejahteraan hidup yang lebih baik. Aku harus berbuat sesuatu, aku tidak boleh diam, terpaku dan pasif. Menunggu waktu tetapi memanfaatkan waktu bahkan mengejarnya dari ketertinggalan yang pernah kubiarkan. Aku harus menggunakan pikiran kreatif yang adalah anugerah terindah pemberian Sang Pencipta untuk kudedikasikan bagi masyarakat desa ini, aku mencintai mereka, aku tak ingin mereka tersia-sia oleh tak terpenuhinya kebutuhan utama kehidupan. Terlintas di benakku, aku harus melakukan sesuatu. Ku balikkan badanku, kini dengan semangat yang berkobar aku mengarahkan langkahku menuju ke kantor desa. Syukur hari ini ruangan kantor di buka, ku lihat ibu hukum tua sementara membenahi kantornya “Selamat siang, ibu Hukum Tua”, “Mari ibu guru, silahkan masuk, …senang sekali di siang terik seperti ini ibu datang mengunjungi kantor saya, seperti air sejuk yang membasahi tanah gersang” “Maaf ibu Hukum Tua, aku ingin “share”, aku punya kerinduan untuk mengupayakan fasilitas air bersih di desa ini. “Waw.... ini suatu kejutan, ini ide inspiratif , ide yang terbaik, namun bagaimana caranya ??? Ku tuturkan pengeluaran masyarakat untuk membeli 1 tong air bersih dengan kapasitas 1100 liter setiap minggu, dari 300 kepala keluarga dikalikan Rp.60.000,- maka hampir Rp. 18.000.000,- tiap minggu dana yang harus dikucurkan. Jika dikalikan sebulan, apalagi setahun suatu jumlah yang tak lagi bisa dihitung dari “digit” (angka) hpku. Dengan antusias ibu Hukum Tua mendengarkan dan sekali-kali menyela memberi komentar karena aku terlalu bersemangat mengurai gagasanku. Akhirnya sejumlah solusi kupresentasikan di depan tokoh-tokoh masyarakat dan alhasil mereka mau menopang ideku. Ide yang kugagas di mulai dari hal yang sederhana, aku memanfaatkan keindahan pesisir pantai Kambahu sebagai sarana promosi mendapatkan dana, warga masyarakat diimbau menjaga keindahan pantai, dengan teratur membersihkan pantai dari sampah yang berserakan dan membangun pondok kuliner yang menawarkan jajanan tradisonal seperti; pisang goreng, ubi rebus, jagung bakar dan tentunya ikan bakar dengan “dabu-dabu” dan kerajinan tangan produk ibu-ibu dan anak muda Kasawari. Melalui media sosial dan teman-temanku di kota, aku mempromosikan keindahan pantai Kambahu. Kini kawasan pantai Kambahu ramai dipadati pengunjung, pantai ini menyediakan “view” yang natural, tak kalah indahnya dengan tempat wisata lainnya. Dari pantai ini, para turis lokal dapat melihat indahnya selat lembeh dengan pasir putihnya, yang terhampar di sepanjang pulau bagaikan hamparan mutiara putih yang di hiasi hijaunya pohon kelapa yang menari-nari di tiup angin. Ini merupakan lokasi yang strategis dengan pemandangan spektakuler bagi peminat selfie, pencinta foto sendiri dengan view natural. Hatiku semakin berbunga-bunga, rasa bahagia meluap-luap; pundi-pundi uang yang dikumpul oleh setiap kelompok makin bertambah dari waktu-waktu. Perekonomian masyarakat mulai menggeliat dinamis, bagai bayi yang merangkak dan mulai berjalan. Sambil memandang hamparan laut, aku ingin berteriak untuk menggaungkan harapku,… kalau Bali dikagumi seantro dunia mengapa Pantai Kambahu di ujung Timur Kota Bitung ini tidak bisa Padahal berdekatan dengan pulau Lembe dengan pesona bawah lautnya yang menarik, penuh ikan dan terumbu karang yang beraneka jenis. Setelah menghitung lembar dan recehan uang yang telah terkumpul, tim kerja yang terbentuk sepakat, memulaikan aksi nyata. Dana yang dianggarkan memang belum mencukupi, tapi kami masih melihat potensi yang belum tergarap, yaitu “mapalus”(kebersamaan) untuk saling membantu dari masyarakat. Rencana kegiatan telah dipaparkan, hari ini saatnya kerja bakti masal. Seluruh tenaga produktif, tokoh masyarakat dan tokoh agama telah berkumpul di lokasi “AER PRANG”, suatu tempat yang berlimpah air bersih yang jaraknya hampir 5 km dari desa, dengan izin pemerintah kota Bitung maka dimulainya pengerjaan pembuatan bak air, pemasangan pipa dan pengadaan genzet untuk memudahkan penyaluran air. Kini, aku bisa bernafas lega, impianku menjadi kenyataan, air bersih telah mengalir di rumah-rumah keluarga dan pantai Kambahu menjadi tempat wisatawan domestik dan internasional. Dengan hati yang dipenuhi syukur, aku berefleksi seandainya aku tidak diberi semangat dan kemampuan untuk mengimplementasikan ideku…, maka sepanjang waktu, masyarakat akan hidup dalam penantian panjang. Namun aku pun sadar, aku tak bisa sendiri menjalankan gagasan brilian ini tanpa dukungan dan pemberian diri masyarakt yang bekerja dengan cinta dan rela membanting tulang tanpa upah. Dari cinta yang ditaburkan mengalir air sejuk yang menghidupkan masyarakat. Ternyata kita bisa melakukan apa yang kita impikan kecuali kalau kita tidak ingin melakukannya. Penulis : Treesje Josefine Tombokan, dilahirkan di Tandengan, 24 Maret 1966 Bekerja sebagai Pendeta di Jemaat Imanuel Aertembaga, Ketua Wilayah Bitung Dua, Suami : Pdt. Andrio Awuy memiliki 2 anak Piero dan Carlos. Pendidikan terakhir : S2 Pascasarjana UKIT Tomohon, tempat tinggal di Pastori GMIM jemaat Imanuel Aertembaga, Kelurahan Aertembaga I Kec. Aertembaga Bitung Tulisan ini adalah harapan seorang pelayan bagi Pemerintah dan Masyarakat Kelurahan Kasawari untuk memelihara keindahan alam pantai Kambahu dan masyarakat dapat menikmati fasilitas air bersih

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengucapan Syukur